Search

Senin, 12 April 2010

KOTA HIJAU


Pemanasan global menjadi salah satu topik utama dunia yang tak henti dikampanyekan. Pembangunan di kota kemudian secara perlahan menuju pada tren “hijau”. Apa saja dikaitkan dengan adanya wilayah khusus untuk penghijauan. Tengok saja berbagai real estat berlomba menawarkan suasana sejuk dan segar. Atau berbagai perusahaan giat melakukan tanggungjawab sosial (Corporate Social Responsibility ) dan mengkompensasikan kegiatan ekonominya dengan penanaman pohon. Kita boleh saja skeptis dengan apa yang telah dilakukan para pengeruk keuntungan itu. Bahwa kegiatan tersebut dapat semata-mata hanya menjadi “kedok” untuk memperoleh simpati konsumen dan akhirnya mereka mendapat nama baik sebagai penyelamat lingkungan.



Terlepas dari itu semua, penyelamatan lingkungan memang harus segera dilakukan. Mengomentari tentang penghijauan, saya menemukan tugas kuliah ketika duduk di Program Pascasarjana Kajian Pengembangan Perkotaan. Judulnya yaitu “Kota Pohon” (Kompas , 30 Maret 2004). Penulis artikel tersebut adalah JJ Rizal, seorang kolomnis tetap sejarah "Batavia Tempo Doeloe" di Moesson Het Indisch Maanblad . Di artikel tersebut ia menceritakan bagaimana sejarah ditanamnya pohon asam sebagai jalur hijau dan kesadaran lingkungan masyarakat Betawi tempo dulu dalam mempertahankan hijau pekarangannya dengan pepohonan. Berikut ini petikan tulisannya:



“Pada masa lalu, orang Betawi sangat menyukai halamannya rumahnya dengan menanam pepohonan dan apotek hidup, seperti pohon saga, sirih, dan teleng yang berfungsi untuk menyembuhkan penyakit sariawan, mencret, wasir. Hingga pagar rumah pun tidak memakai pagar besi, melainkan pagar pohon rendah atau pagar bambu. Sehingga dapat dilihat kesadaran dalam memelihara lingkungannya tinggi. Berdasarkan dengan tradisi orang Betawi tersebut dan pentingnya pepohonan, maka Daendels memerintahkan untuk menanam pohon asam sebagai tanaman jalur hijau . Hal tersebut dipertimbangkan bahwa pohon asam memiliki akar pokok kayunya yang sangat kuat, daunnya tidak mudah rontok mengotori jalan dan berumur teramat panjang . Seabad setelah Daendels angkat kaki dari Batavia, jalan-jalan di kota Batavia dipenuhi dengan deretan pohon asam, seperti di Jalan Medan Merdeka, Jalan Veteran, Jalan Ir. H. Juanda, Jalan Gajah Mada dan jalan Hayam Wuruk. Namun, kenyataan kini yang ada pohon asam telah tinggal cerita, karena keberadaannya yang tidak banyak dipelihara dan ditebang untuk kebutuhan infrastruktur dan permukiman ”



Kekhawatiran Rizal terbukti. Saat ini apakah kita masih melihat pohon (bukan saja pohon asam) berdiri kokoh sebagai jalur hijau? Di Jalan Raya Margonda, Depok, misalnya. Jalur hijau hanya diganti dengan pot kembang yang berdaun kecil dan pastinya tidak mampu menyerap karbondioksida dari kendaraan yang jumlahnya tak sedikit. Jalur hijau di tepi jalan kini berubah menjadi tempat PKL atau sebagai lokasi papan reklame. Kondisi seperti ini seharusnya membuka pemikiran yang inovatif para perencana kota dan bangunan, bagaimana mengkompensasi kebutuhan lahan hijau tersebut.



Jadi yang bisa kita perbuat sebagai penghuni kota? Bila di rumah kita belum ada pohon, mulailah menanam satu atau dua batang pohon setiap bulan. Dengan begitu, disamping menghijaukan lingkungan, kita pun bisa melestarikan budaya lokal (baca: Betawi) dalam hal menanam pohon, seperti yang diceritakan oleh Rizal. Terdengar mudah ya, hanya menanam pohon. Tapi kalau semua orang menyadari pentingnya penghijauan (termasuk pemerintah kota), maka lahan untuk ruang hijau kota layak dipertanyakan. Apakah sudah sesuai dengan UU Penataan Ruang No 26 Tahun 2007?



Bila kita merasa belum bisa berbuat banyak buat lingkungan kota. Mulailah dari rumah sendiri. Hijaukan taman kita (semungil apapun itu) dan nikmati kesejukan yang tidak perlu dibayar mahal!

0 komentar:

Posting Komentar

komentar : gratis

Terima Kasih Telah Mengunjungi Web Kami, Semoga Web Kami Bermanfaat Bagi semua Orang.
Powered By Blogger